BENGKULU, iNewsBengkuluUtara.id - Gugatan Sistem Pemilu 2024 mengenai uji materi yang dilakukan beberapa pihak terkait Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) harus benar-benar memutuskan untuk kepentingan pemilih.
"Dalam mengambil keputusan nanti, MK harus benar-benar berpihak pada kepentingan pemilih dalam gugatan sistem Pemilu 2024 ini," kata Kurniawan Eka Saputra S.Sos, SH, MH, Peneliti di Dejure Riset Konsultan (DRK) Fakultas Hukum Universitas Bengkulu (FH-UNIB) ini Jum'at (30/12/2022).
Menurut Eka yang juga merupakan Ketua Presidium KIPP Kalimantan Barat tahun 1996 ini, putusan yang diberikan MK nantinya harus memberi jaminan kepastian atas suara pemilih dengan bingkai asas Vox Populi, Vox dei (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan).
"Secara teoritis debatabel tentang mana sistem yang ideal untuk di gunakan, sebenarnya tergantung dari persfektif mana, jika kepentingan parpol maka tentu pilihannya pada proporsional daftar tertutup. Karena peran dan kewenangan parpol menjadi sangat besar tatkala pemilih memilih parpol, bukan nama caleg," terangnya.
Dalam konteks sistem proporsional tertutup ini, lanjut dia, berkaca pada kasus Harun Masiku dan Riezky Aprilia dari PDIP daerah pemilihan (dapil) 1 Sumatera Selatan pada Pemilu 2019.
Setelah meningalnya Nazarudin Kiemas, suara Riezky Aprilia kalah banyak dengan suara yang memilih PDIP sehingga parpol merasa memiliki kewenangan untuk menentukan calon pengganti Nazarudin Kiemas yang kemudian mengakibatkan munculnya kasus Harun Masiku.
"Jadi wajar saja jika kemudian PDIP menjadi salah satu pendukung sistem proporsional tertutup di parlemen," lanjutnya.
Dari sisi pemilih sistem proporsional terbuka, tambah mantan Pansel Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Lebong tahun 2008, hal ini menjamin adanya keadilan dan kepastian suara bagi pemilih, karena nama caleg dalam surat suara.
"Artinya bahwa dalam sistem ini tidak ada lagi tafsir terhadap siapa caleg terpilih karena menggunakan suara terbanyak. Tak ada lagi kewenangan parpol untuk menentukan caleg terpilih," tambahnya.
Dari sisi analisis political cost, Eka Rahman menjelaskan sistem proporsional daftar tertutup akan berimplikasi pada munculnya potensi political high cost. Karena selain ke pemilih, caleg juga harus melakukan tawar-menawar dengan parpol untuk menjamin keterpilihannya dalam pemilu.
"Berbeda dengan sistem proporsional terbuka yang hanya meniscayakan caleg dengan komunikasi politik yang baik dengan pemilih untuk memperbesar peluang terpilihnya dia menjadi wakil rakyat," jelas mantan Anggota KPU Kota Lubuklinggau, Sumatera Selatan tahun 2003-2008 ini.
Dalam gugatan sistem pemilu 2024 mengenai uji materi yang dilakukan beberapa pihak terkait Pasal 168 Ayat 2 UU Pemilu, MK harus menjamin kepastian dan keadilan yang sebesar-besarnya bagi pemilih dengan melihat apakah Judicial Review ini sesuai atau bertentangan tidak, dengan norma yang tercantum dalam UUD NKRI 1945.
Tapi jika MK memutuskan sistem proporsional tertutup, maka akan berimplikasi pada perubahan norma, tidak hanya pasal 168 UU 7 tahun 2017 tetapi banyak aturan lain yang menyebut tentang memilih nama caleg.
"Ini yang harus benar-benar di cermati oleh MK, karena saat ini kita sedang berada di tengah tahapan Pemilu 2024. Begitupun dengan pengaruh terhadap caleg akan merubah strategi pemenangan Pemilu yang sudah direncanakan," ujarnya.
Karena itu, penting bagi majelis hakim MK untuk memberikan putusan yang tepat agar tercipta established dalam regulasi sistem pemilu, tidak bongkar pasang aturan dalam setiap penyelenggaraan pemilu.
"Kalau secara pribadi sebagai pemilih, saya berpendapat bahwa mahkamah harus menolak permohonan yang diajukan dalam judicial riview Pasal 168 UU No 7 tahun 2017," pungkasnya.
Editor : Debi Antoni
Artikel Terkait